Berita Perikanan - Sahara menilai, KKP seharusnya mengekspor lobster bukan justru benurnya.
SariAgri - Kontroversi ekspor benih lobster berujung penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Edhy diduga menerima suap terkait perizinan ekspor benih lobster atau benur.
Peraturan Menteri KP Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari Wilayah Negara Republik Indonesia yang diubah oleh Edhy kala itu jelas menuai banyak kritik dari sejumlah kalangan. Terlebih dibukanya kembali keran ekspor benih lobster yang dinilai tidak berpihak kepada nelayan kecil.
Melihat hal tersebut, Akademisi yang juga Ketua Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) Institut Pertanian Bogor (IPB) Sahara mengatakan, seharusnya pemerintah khususnya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melihat sejumlah aspek penting sebelum melakukan ekspor.
"Kalau yang kita ekspor benur ya sudah habis nggak akan ada peningkatan nilai tambah, tapi kalau yang kita ekspor lobsternya itu akan jadi nilai tambah yang tinggi. Jadi nelayan itu ketika menjual lobster harganya puluhan kali lipat dibandingkan ketika dia menjual benur," ujar Sahara saat diwawancarai melalui sambungan telepon oleh Sariagri, Kamis (26/11).
"Kemudian dari sisi lingkungan atau sustainability lobster di Indonesia, kan kalau benihnya di tangkap lalu kita ekspor lalu over eksploitasi, maka yang terjadi nelayan yang menggantungkan hidup dari penangkapan lobster jadi berkurang," sambungnya.
Baca Juga: Perkenalkan Sorgum, Tanaman Pangan yang Tahan Terhadap Musim Kemarau
Pakar: Benih dengan Postur Tinggi Cocok untuk Lahan Rawa
Lebih lanjut dirinya berkelakar, pemerintah sebenarnya bisa meningkatkan nilai tambah dengan pembesaran di dalam negeri, yaitu membudidayakannya dan mengekspor dalam bentuk lobster bukan benur. Di mana budi daya yang dilakukan akan menyerap tenaga kerja dan berdampak terhadap ekonomi.
"Analoginya itu kita ekspor bahan mentah lalu dibesarkan benur itu di Vietnam dibudidayakan, lalu kita impor (lobster) dengan harga lebih mahal, logikanya di mana, kalau berpikir jangka panjang, seharusnya dibudidayakan di Indonesia sehingga nelayan yang menggantungkan hidup dari budi daya lobster bisa terjamin keberadaan benihnya di Indonesia," ungkap Sahara.
"Buat saya lucu, ketika benur di eskpor ke Vietnam lalu dibudidayakan dan kemudian di impor lagi dalam bentuk lobster," tambahnya.
Menurutnya, kebijakan yang dibuat seharusnya dikonsultasikan dahulu ke publik, terutama pandangan dari nelayan, apakah ekspor benur memberikan manfaat atau justru sebaliknya.
"Kalau banyak manfaat nggak papa dilanjutkan tapi kalau negatifnya nggak usah. Proses penentuan eksportir juga harus dilakukan transparan apalagi kebijakan kontroversi akan selalu jadi sorotan," pungkasnya.